
Mengubah Paradigma Hasil Studi Kurikulum 2013
PENDIDIKAN merupakan pintu gerbang pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, pemerintah telah menempuh berbagai kebijakan. Salah satunya dengan meningkatkan standar kelulusan dari tahun ke tahun dengan penyempurnaan sistem penyelenggaraan ujian nasional (UN) dan pembaharuan kurikulum.
Pendidikan sudah menjadi kebutuhan yang tidak tergantikan. Bagaimana tidak, dewasa ini ijazah bak emas berkilauan yang tak pernah usang diburu masyarakat. Banyak jenjang karier yang mensyaratkan ijazah tertentu untuk segara diraih. Tak pelak, hal ini memaksa masyarakat untuk mengikuti arus dengan cara sekolah setinggi mungkin. Bahkan untuk masuk ke PTN saja, pemerintah telah memutuskan nilai UN sebagai salah satu syarat mutlaknya.
Penilaian hasil belajar hanya didasarkan pada kemampuan kognitif anak didik. Pendidikan keterampilan, budi pekerti, dan tanggung jawab kurang diperhatikan secara proporsional. Parameter keberhasilan belajar masih diukur dengan lambang bilangan pada interval tertentu, bukan kreativitas dan daya kritis. Sementara keseimbangan otak kanan dan kiri sering diabaikan.
Padahal banyak ahli mengartikan belajar sebagai proses yang dapat mengubah tingkah laku. Artinya, keberhasilan belajar lebih menekankan pada perubahan tingkah laku, dapat berupa sikap, pola pikir, maupun penguasaan keterampilan.
Namun paradigma belajar di kalangan masyarakat mengalami pergeseran. Mereka menganggap nilai merupakan satu-satunya tolok ukur kesuksesan belajar. Sehingga pelajar hanya terfokus pada ritual mata pelajaran yang diujikan dalam UN dan mengabaikan hal-hal lain di luar itu. Kecenderungan memperoleh sederet angka tinggi pada lembaran ijazah memacu mereka untuk menghalalkan segala cara.
Tak bisa dimungkiri, banyak lulusan yang tidak bisa melakukan apa pun, kecuali menjawab serangkaian soal yang tertera pada teks ujian belaka. Karena mereka lebih mementingkan nilai ketimbang kompetensi yang diperoleh dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran dapat dilakukan dengan efektif dan efisiensi yang berpijak pada kondisi bangsa ke depannya. Dengan sistem Student Center Learning (SCL) merupakan salah satu efektivitas dalam proses belajar yang demokratis. Sementara efisiensi dapat diterapkan dalam penyusunan kurikulum yang mengacu pada visi dan misi pendidikan itu sendiri. Bukan mengabdi pada kepentingan politik sesaat.
Kurikulum 2013
Seperti halnya kurikulum 2013, yang rancangannya telah memasuki tahap uji publik. Kurikulum terbaru yang rencananya akan diterapkan pada 2013 ini mendorong kegiatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Siswa dituntut menjadi aktor pembangun pengetahuannya sendiri.
Guru hanya sebagai fasilitator dalam proses belajar mengajar. Ketika peserta didik mengalami kesulitan, guru tidak memberikan jawaban langsung. Namun mengarahkan cara bernalar dan cara mendapatkan informasi dari sumber-sumber yang tersedia. Hal tersebut akan melatih cara berfikir siswa untuk terus menemukan jawaban tanpa tergantung pada guru.
Kurikulum berbasis kompetensi 2004 dan kurikulum tingkat satuan pendidikan 2006, standar kompetensi lulusannya ditentukan oleh mata pelajaran, sedangkan kurikulum 2013 standar kompetensi lulusan ditentukan terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan penyusunan mata pelajaran yang dibutuhkan. Pemusatan guru sebagai perancang silabus pada kurikulum sebelumnya, tak berlaku lagi di kurikulum teranyar. Guru hanya perlu menyiapkan materi ajar dari buku pegangan yang disusun pemerintah.
Berbagai perubahan komposisi mata ajar diterapkan dalam kurikulum baru. Intinya menambah jam belajar dan menggabungkan beberapa mata ajar menjadi satu. Dari pembaharuan kurikulum tersebut, pendidikan diharapkan sebagai penyemai manusia melalui konsepsi kognitif, psikomotorik dan soft skills.
Namun jika ketiga capaian ranah tersebut tidak diimbangi dengan nilai spiritual maka luaran pendidikan hanya akan menghasilkan insan sekular. Seperti maraknya tawuran antarpelajar, lemahnya kedisiplinan dan sikap apatis terhadap masalah sosial di lingkungan sekitar. Padahal kurikulum yang komprehensif sebaiknya berisi proses yang pada akhirnya membawa perubahan positif tingkah laku dan tingkat pengetahuan dalam diri anak didik.
Jika kurikulum terbaru lebih sensitif terhadap pelajaran agama dan kewarganegaraan, maka akan lahir generasi bangsa yang tidak hanya mumpuni di bidang ilmu pengetahuan, namun sikap nasionalis dan religius serta keterampilannya dapat menjawab tantangan zaman. Hal tersebut merupakan hasil dari sebuah kurikulum yang membuat produk pendidikan menjadi khalifah yang siap menjalankan fungsinya.
Sudah saatnya efektivitas dan efisiensi dalam sistem pendidikan segera dilaksanakan. Sehingga mampu mencetak lulusan yang berkualitas yang memiliki kecerdasan dan kepekaan menghadapi masalah yang semakin kompleks di peradaban global saat ini.
Ulum Minnafiah,
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus (UMK)